Menbedah Karya Asy-Syatibi
“Judul : Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep al-Istiqra al-Ma’nawi Asy-Syatibi; Penulis : Duski Ibrahim ; Penerbit : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta ; Cetakan : Juli, 2008; ISBN : 979 – 25 – 4491 – 7; Tebal : 288 hlm”
Pada mulanya, penetapan hukum Islam bersumber dari dua nash asli: Alquran dan Hadis. Dua sumber ini adalah rujukan utama saat Nabi Muhammad masih hidup hingga generasi sahabat. Saat itu, belum tercium perhatian serius untuk merumuskan metodologi pengambilan hukum syar’i, karena masih ada Rasulullah dan generasi sahabat, generasi pertama nan terpercaya sesudah Nabi wafat.
Ketika tiba generasi sesudah sahabat (yakni, para tabi’in, dan generasi seterusnya), daya jangkau penyebaran Islam, semakin meluas hingga seluruh wilayah Timur Tengah, daratan Asia, bahkan Andalusia (Spanyol) di pojok Eropa. Persoalan umat Islam pun, lambat laun kian bertambah kompleks. Atas dasar itu, para ulama berpendapat, dua rujukan utama diatas tak mencukupi kepuasan jawaban atas persoalan umat. Sehingga, para ulama salafus-shalih berusaha keras merumuskan metode-metode pengambilan hukum Islam, seperti yang dilakukan oleh Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dari mereka, lahir metode-metode penarikan hukum, seperti qiyas ushuli, ijma’, istihsan, dan maslahah mursalah.
Tetapi, metode istinbati (penentuan hukum) tersebut masih menyisakan problem metodologis. Salah satunya, terabaikannya kesatuan dan keutuhan dasar-dasar syari’ah, mengingat aplikasi metode hukum tersebut cenderung parsial. Sehingga, dampaknya, problem metodologis ini akan mengurangi validitas suatu produk hukum, karena istinbati hukum seringkali hanya menggunakan satu atau dua dalil nash saja.
Nah, berangkat dari kegelisahan tersebut, Asy-Syatibi, lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Lakhmi al-Garnati (w. 970 H), menawarkan metodologi alternatif, berupa al-Istiqra’ al-Ma’nawi. Ia percaya bahwa metode ini sangat tepat bagi siapapun dan kapanpun, karena metode ini mengajarkan pengambilan hukum Islam yang memanfaatkan kolektivitas dalil dari berbagai bentuknya, mempertimbangkan indikasi-indikasi keadaan tertentu (qara’in ahwal), baik yang terkait dengan nash secara langsung (manqulah), maupun tidak (ghairu manqulah).
Buku ini, Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar Konsep al-Istiqra al-Ma’nawi Asy-Syatibi, mengungkap sisi-sisi penting pemikiran Asy-Syatibi dalam pergulatannya memformulasikan metodologi alternatif tersebut. Dalam buku ini, tertulis secara gamblang, namun menarik, bahwa metode alternatif Asy-Syatibi tidak mau tergantung pada satu atau dua nash/dalil saja, akan tetapi ia bersikeras agar seorang peneliti hendaknya senantiasa menghimpun berbagai macam dalil, dari berbagai bentuk dan konteksnya, untuk kemudian dicari intisari jawaban, kepastian, dan keputusan hukum secara memadai.
Satu hal yang cukup menarik dalam metode al-Istiqra’ al-Ma’nawi adalah, Asy-Syatibi sama sekali tidak mengabaikan peran penting akal–kecenderungan yang seringkali “ditakuti” oleh ulama-ulama tradisional–sebagai bahan pengambilan keputusan hukum. Ia juga turut menimbang kondisi-kondisi sosial, serta dimensi ruang dan waktu. Karakteristik metodologi Asy-Syatibi berlabuh pada upaya menemukan kandungan atau substansi dalil-dalil hukum yang sepadan dengan tujuan syar’i.
Penting untuk dikemukakan disini, bahwa pemahaman Asy-Syatibi tentang definisi “dalil-dalil” tersebut, secara untuh dapat kita telusuri dalam masterpice-nya, kitab al-Muwafaqat fil Ushul Asy-Syari’ah. Disana, Asy-Syatibi memberi pernyataan bahwa dalil-dalil syara’ terdiri dari dua macam: dalil naqli (Alquran dan Hadis), dan pemikiran (ar-ra’yi) manusia. Dua ragam sumber ini, niscaya, saling membutuhkan satu sama lain, karena penggunaan dalil naqli mesti membutuhkan pemikiran, sebagaimana pemikiran tak akan diakui oleh syara’ kecuali apabila disandarkan kepada naqli. Artinya, metode al-Istiqra’ al-Ma’nawi tidak boleh mengabaikan dua epistem tersebut, untuk menghindari lahirnya produk hukum yang dangkal, kaku, dan setengah-setengah.
Disamping itu, dalam metode al-Istiqra’ al-Ma’nawi, Asy-Syatibi juga menekankan agar mengambil dalil-dalil hukum sebanyak-banyaknya, berikut melacak pula, secara teliti, konteks historis saat dalil-dalil tersebut lahir (qara’in ahwal). Jangan sampai suatu keputusan hukum hanya bersandar pada satu atau dua dalil saja. Sebab, jika sampai terjadi keterputusan sumber-sumber hukum, maka akan berakibat pada kecenderungan “konflik” antara produk hukum satu dengan produk hukum yang lain, dalam satu tema yang sama. Oleh karena itu, menurut As-Syatibi, suatu keputusan hukum perlu merujuk pada kolektivitas dalil secara menyeluruh, bukan sekedar “mencomot” dalil-dalil tertentu, tanpa memperhitungkan konteks sejarah saat dalil tersebut muncul.
Memang, jika kita coba masuk ke dalam kehidupan masyarakat sekarang, “kekakuan” penetapan hukum Islam itu akan terbaca sangat terang. Seringkali kita menemukan sebuah produk hukum, sama sekali tidak bersentuhan dengan substansi syar’i. Seperti hukum memanjangkan jenggot, misalnya. Konon, ke-sunnah-an hukum dalam memanjangkan jenggot tersebut, bukan karena ia murni berasal dari hukum naqli, dalam pengertian ini, adalah Alquran. Akan tetapi, Nabi Muhammad menganjurkan”tradisi” tersebut boleh berlanjut, karena beliau sangat menghormati orang-orang Arab yang amat menghargai dan menghormati “tradisi pemanjangan” tersebut. Dengan demikian, Nabi menganggap bahwa tradisi pemanjangan jenggot itu tidak bertentangan dengan tujuan syar’i.
Dalam situsi seperti itu, berarti, metodologi Asy-Syatibi memberi kelonggaran kepada kita untuk memberi artikulasi hukum dari tradisi atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat kita, dengan syarat utama, ia tidak bertentangan dengan tujuan syar’i. Sebagai contoh sederhana, barangkali, kita boleh memberi hukum sunnah bagi orang Islam perantauan agar selalu mudik saat lebaran tiba, atau memberi hukum sunnah pula saat acara halal bi halal. Pemberian hukum sunnah pada dua “tradisi khas” Indonesia ini, selain karena tidak bertentangan dengan tujuan syar’i–indikasinya, sepengetahuan penulis, tak diketemukannya secara tegas pengharaman dua tradisi tersebut dalam dalil-dalil naqli–, juga karena dua ritual tersebut sudah menjadi semacam kebiasaan bangsa kita. Sehingga siapapun akan senantiasa memberi apresiasi positif bila tradisi tersebut dilestarikan. Disinilah, peran dalil kedua As-Syatibi, pemikiran (ar-ra’yu), menemukan tempat bersandarnya.
Apa yang dikembangkan Asy-Syatibi ini memang bukan tanpa kritik. Fazlur Rahman, misalnya, memberi kritik kepada Asy-Syatibi terkait akan kejelasan sumber dan referensi yang dipakai Asy-Syatibi dalam menuliskan rujukan tulisannya. Padahal, ketika itu, para pemikir hukum Islam sebelum Asy-Syatibi, sudah terlatih menuliskan karya-karyanya secara sistematis, mulai dari bab, pasal, referensi, bahkan halamannya.
Selanjutnya, Rahman mengritik pula soal tiadanya contoh konkret dari penjelasan teori-teori hukum Asy-Syatibi, termasuk aplikasi dari metode al- al-Istiqra’ al-Ma’nawi. Hal itu berdampak pada simpang-siurnya pemahaman kalangan peneliti hukum Islam modern dan kontemporer terhadap pemikiran Asy-Syatibi, karena secara jamak, teori-teori Asy-Syatibi terkadang agak kabur, rumit, bahkan kontradiktif. Alasan tersebut semakin memperjelas kenapa rata-rata pemikir hukum Islam kontemporer lebih cenderung memberi apresiasi positif pada pemikiran Asy-Syatibi, terutama terkait maqasid asy-syariah, ketimbang al-Istiqra’ al-Ma’nawi. Lacak punya lacak, pemikiran maqasid asy-syariah ternyata lebih memberikan kemudahan kepada peneliti, baik dari segi pemahaman maupun implementasi, ketimbang al-Istiqra’ al-Ma’nawi.
Demikianlah, sekalipun Asy-Syatibi tergolong dalam hitungan tokoh amat klasik, namun Duski Ibrahim, penulis buku ini, sudah berhasil menyuguhkan pernik-pernik pemikiran Asy-Syatibi secara detail, sistematis, aktual, dan mendalam. Dengan bahasa “khas akademisi”–itu berarti: lugas, sedikit kaku, dan kaya referensi–para pembaca akan sering menemukan “kejutan-kejutan” dalam setiap lembar buku ini, terutama bagi mereka yang tertarik pada seluk-beluk hasanah pemikiran hukum Islam. Selamat membaca!
Karena kebenaran al-Qur’an merupakan petunjuk abadi dan menyeluruh (universal) dalam menetapkan Hukum suatu masalah , maka al-Qur’an senantiasa memperhatikan kondisi sosial yang berkembang dalam masyarakat.
Prinsip-prinsip dalam penetapaan Hukum
1. Tidak menyempitkan ( عدم الحرج
2. Mengurangi Beban ( تقليل التكـاليف
3. Penetapan Hukum Secara bertahap ( التدريج فى التشريع
4. Sejalan dengan Kemaslahatan Manusia (المصاحة المرسلة )