-Kalimah Syahadah-
"Aku Bersaksi, Tiada Tuhan selain Allah
Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad Rasul Allah"
Namun seringkali kebenaran ini menjadi relatif, bergantung kepada bagaimana cara masing-masing orang memberikan arti dan penilaian terhadap kebenaran itu sendiri, sehingga itu pula kebenaran sudah menjadi sesuatu yang bersifat subjektif.
Beriman itu, haruslah dimulai terlebih dahulu dari hati "Qalbu".
Bahwa untuk menjalankan syariat suatu agama haruslah dimulai dengan keimanan dahulu adalah sesuatu hal yang tidak dapat terbantahkan.
Keadaan beriman sesorang adalah kondisi "jadi" dari seseorang itu.
Pertanyaannya adalah kondisi jadi tersebut diperoleh lewat mana ?
Tentunya kita berdua tidak bisa mengatakan kondisi beriman tersebut ada karena lewat iman.
Pernyataan ini tertolakkan dalam dunia ilmiah dan bertentangan dengan penalaran saya selaku manusia yang fitrah.
Seseorang memperoleh keimanannya lewat dua jalur, ada yang lewat akal dan ada yang lewat nafsu (nafsu dalam hal ini adalah persangkaan atau praduga manusia)
Jika iman diartikan percaya, maka percaya juga bisa lewat akal atau persangkaan. Misalnya apabila kita hendak melewati sebuah jembatan dari besi, tentu kita akan enteng saja melewatinya, karena persangkaan kita jembatan tersebut sudah kuat. Tetapi bila yang dilewati adalah jembatan dari kayu dan tali, paling tidak kita akan mengecek kekuatan jembatan tsb terlebih dahulu (menginjak-injak dari pinggir terlebih dahulu dsb )
Dalam berislam pun demikian, terdapat orang-orang yang mencapai iman dengan akal, dan ada yang dengan persangkaan.
Misalnya yang dengan persangkaan adalah seorang islam yang tidak mampu menjawab pertanyaan " Mengapa kamu memilih Islam ?", "Darimana kamu kamu tahu bahwa Islam itu benar ?", " jika ortumu nggak Islam kira-kira kamu Islam nggak ?", atau bisa juga "mengapa kamu harus menjadi pengikut Ahmadiyah ?", "Darimana kamu yakin bahwa Ahmadiyah itu benar dan bukan hal yang justru terkutuk ?" dst.
Jadi, Iman terhadap sesuatu itu tetap harus dibuktikan dulu apakah memang pengimanan tersebut sudah benar atau belum. Dan jalan untuk membuktikan kebenaran akan keimanan ini salah satunya dengan mengadakan penelaahan terhadap iman itu sendiri dengan mengadakan penyesuaian terhadap fitrah manusia.
Manusia menurut sejarah al-Qur'an telah diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang mulia hingga malaikat sekalipun disuruh tunduk, hormat terhadap makhluk bernama manusia ini. Manusia diciptakan berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, baik yang bisa dilihat secara kasat mata maupun makhluk yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang yang harus mempergunakan alat-alat tertentu seperti mikroskop dan sebagainya untuk melihatnya atau juga makhluk ghaib yang hanya orang-orang tertentu yang dapat melihatnya.
Keutamaan manusia yang paling sering disinggung oleh banyak orang dan bahkan juga al-Qur'an adalah dilimpahkannya anugerah akal sebagai alat untuk berpikir dan memberikan jalan baginya didalam upaya mencari kebenaran Allah, yaitu dzat yang menjadi sumber dari kebenaran itu sendiri.
Seorang manusia tidak bisa memilih, di negeri mana ia dilahirkan, dan siapa
orang tuanya. Yang ia dapatkan hanyalah kenyataan, bahwa di negerinya,
kebanyakan orang memeluk agama atau keyakinan (ideologi) tertentu, dan
orang tuanyapun mendidiknya sejak kecil dengan suatu pandangan hidup
tertentu.
Namun hampir setiap manusia yang normal ternyata memiliki suatu naluri
(instinkt), yakni suatu saat akan menanyakan, apakah keyakinan yang
dianutnya saat itu benar atau salah. Dia akan mulai membandingkan
ajaran-ajaran agama atau ideologi yang dikenalnya. Bagaimanapun juga
keberhasilan pencariannya ini sangat bergantung dari informasi yang datang
ke padanya. Kalau informasi pengganggu (noise) yang datang kepadanya
terlalu kuat, misalnya adanya teror atau propaganda yang gencar dari
pihak-pihak tertentu, bisa jadi sebelum menemukan kebenaran itu, ia sudah
berhenti pada keyakinan tertentu yang dianggapnya enak (meski sebenarnya
sesat).
MEMBANDINGKAN SUMBER AJARAN TIAP AGAMA
(Aspek theologis)
Kebenaran suatu ajaran bisa direlatifkan dengan mudah bila hanya didasari
oleh suatu asumsi. Dan kenyataan, hampir setiap pengertian buatan manusia
adalah relatif. Para filosof mengatakan, bahwa suatu definisi hanyalah
konsensus dari beberapa orang pada saat tertentu di tempat tertentu yang
memiliki pengalaman yang mirip. Maka tak heran, bahwa untuk beberapa
pengertian yang sering kita dengar saja (seperti "demokrasi", "hak asasi
manusia", dll), antar bangsa (dengan latar belakang kultur yang berbeda)
dan antar generasi (dengan pengalaman sejarah yang berbeda), bisa berbeda
pula pemahamannya.
Karena itu pulalah, ada ajaran yang cepat ditelan musim. Seseorang yang
memegang ajaran seperti ini, jelas suatu saat akan goyah. Sebagai contoh
adalah kaum komunis. Usia ajaran ini ternyata tidak bertahan lebih dari
satu abad. Demikian pula dengan ajaran banyak sekte keagamaan atau aliran
kepercayaan.
Untuk menghindari ajaran yang salah, manusia pertama-tama harus melihat
sumber ajaran itu. Apakah ajaran itu bersumber dari dasar-dasar yang rapuh?
Dalam hal ini, agama-agama yang sudah cukup tua agak "mengundang" untuk
dipelajari, karena mereka menunjukkan sudah "tahan bantingan" untuk kurun
waktu yang sangat lama. Namun demikian tetap perlu dipertanyakan, akankah
ajaran-ajaran "kuno" ini mampu survive menghadapi zaman post moden dengan
kehebatan pemikirannya seperti dewasa ini?
Di zaman modern ini orang tidak bisa begitu saja "dikelabuhi". Kita tidak
bisa begitu saja bilang: "Agama XXX ini benar, karena kitab sucinya bilang
begitu .... ". Dan: "Kitab ini benar, karena masih asli dari pembawanya.
Dan kebenaran pembawa ajaran ini dijamin di kitab itu...".
Logika "circular" (berputar-putar) ini tidak bisa memuaskan kehausan iman
manusia modern. Suatu "teori kebenaran" hanya akan bertahan, kalau ia tidak
bisa difalsifikasi (tidak bisa dibuktikan bahwa ia salah). Hal ini karena
suatu proses falsifikasi, cukup memerlukan satu bukti. Sedang suatu proses
pembenaran, memerlukan seluruh bukti, yang tentu saja sulit, karena kita
sering tidak tahu, berapa jumlah bukti yang dibutuhkan.
Suatu ajaran bisa dianggap benar, bila ia:
* stabil intern - ajarannya harmoni, tidak bertentangan satu dengan yang
lain.
* stabil extern - ajarannya tidak bisa disalahkan dengan bukti-bukti
dari luar (misalnya dengan fakta-fakta ilmu alam).
Dalam hal ini tentu saja kita harus bertolak dari ajaran yang murni (ajaran
Das Sollen), yakni yang ada di sumber-sumber ajaran itu sendiri (kitab-kita
suci), dan bukan ajaran yang sedang dipraktekkan oleh pemeluknya, yang
mungkin saja tidak mempraktekkan ajarannya dengan benar (ajaran Das Sein).
MEMBANDINGKAN ISI AJARAN TIAP AGAMA
(Aspek ethis)
Selain mengkaji keabsahan sumber ajaran, suatu langkah pembandingan antar
ajaran adalah juga melihat seberapa jauh isi suatu ajaran mengcover
permasalahan kehidupan manusia. Apakah suatu ajaran hanya menekankan di
satu sisi saja (misalnya sisi duniawi saja, atau sisi rohani saja), ataukah
bersifat menyeluruh, baik duniawi maupun rohani?
Suatu agama yang tidak bersifat menyeluruh akan mengakibatkan dualisme
dalam pemikiran. Di satu sisi orang harus berfikir agamis, di sisi lain
orang harus memilih jalan pragmatis, yang tak jarang bertentangan dengan
fikiran agamis itu.
Mungkinkah melegitimasi ajaran suatu agama dengan agama lainnya.
Sering pemeluk suatu ajaran mencoba meligitimasi kebenaran ajarannya dengan
mengutip statement ajaran lain.
Yang perlu ditinjau adalah, sejauh mana percobaan legitimasi ini dapat
dinalar dengan logika. Memang, tidak menutup kemungkinan, bahwa suatu hal
yang baru membenarkan teori lama yang sudah ada. Penerbangan ke bulan
menambah bukti kebenaran teori bahwa bumi itu bulat. Namun bila penganut
teori lama melegitimasi diri dengan bukti-bukti baru, sementara mereka
menganggap orang yang percaya pada bukti-bukti baru itu keliru, tentu ada
yang tidak logis di sini.
Bila ada ajaran A, B, dan C, yang timbulnya di dunia urut satu demi satu,
maka A hanya bisa membenarkan B, bila penganut A nantinya harus berganti
menjadi penganut B. Inilah yang terjadi dengan ajaran Muhammad, yang sudah
diramalkan dalam Kitab Taurat dan Injil.
Hal yang sebaliknya, yaitu A membenarkan diri dengan B, namun tidak menjadi
penganut B, tentu akan janggal sekali. Karena itu, penganut agama sebelum
Islam, tidak layak membenarkan dirinya dengan menggunakan ajaran Islam,
bila mereka tidak lalu beralih menjadi muslim.
Namun ajaran yang lebih baru tidak tentu lebih benar. Karena itu, terhadap
ajaran C, bisa saja B membenarkan (dengan konsekuensi penganut B berubah
menjadi C dan meninggalkan B), atau menganggap C bagian dari B (jadi B dan
C sama-sama benar), atau C salah. Hal ini berlaku terhadap agama-agama yang
timbul setelah kenabian Muhammad. Ketika ajaran Qadiyan muncul, ada orang
Islam yang pindah menjadi Qadiyan (dan keluar dari Islam), ada yang
menganggap Qadiyan bagian dari Islam, ada pula yang menolaknya, karena
menganggap keliru.
MENGAPA ADA BANYAK AGAMA
Orang sering menganggap mudah fenomena ini dengan mengatakan: "Banyak jalan
menuju Tuhan" atau "Sungai-sungai kelihatan berbeda kalau dilihat hulunya,
namun satu kalau dilihat muaranya". Pada prinsipnya mereka menganggap semua
agama baik dan benar, dan karena itu tidak perlu dipersoalkan.
Memang kita tidak akan debat kusir soal agama. Namun kita tentu akan
menjaga, minimal keluarga kita, agar menganut ajaran yang benar.
"Banyak jalan menuju Tuhan". Koq tahu? Kalau dikatakan "Banyak jalan menuju
Roma" kita tentu bisa menerima, karena banyak informasi dari sana, dan
mungkin ada kawan kita sendiri yang pernah ke Roma dan pulang bercerita ke
kita. Namun kepada Tuhan? Orang-orang yang pergi menghadap Tuhan (artinya
mati), ternyata tidak pernah kembali lagi. Orang yang menghadap Tuhan dan
kembali lagi ya para nabi itu. Lagi pula toh tidak semua jalan itu lempang
dan lurus. Kalau ada banyak jalan menuju Tuhan, kenapa kita tidak memilih
jalan yang lurus, jelas dan tidak penuh duri-duri penyesat?
Demikian juga, memang agama-agama di dunia ini bisa diibaratkan dengan
sungai-sungai. Namun ternyata ada sungai yang tidak bermuara di laut, namun
di danau garam (sungai Jordan misalnya). Atau sungai-sungai itu tercemar di
perjalanan, dipakai untuk irigasi dsb, sehingga tidak pernah mencapai laut.
Ajaran-ajaran yang benar dari Tuhan memang merupakan sungai-sungai yang
mengalir ke muara yang sama. Namun ajaran-ajaran yang sesat, yang
dibuat-buat manusia, tidak akan mencapai Tuhan, karena yang dituju memang
bukan Tuhan. Di zaman modern ini banyak "agama kontemporer" semacam ini.
Ada yang memuja Mao Tse Tung, Lenin ataupun (John) Lennon. Bukankah
kapitalisme, komunisme maupun kult musik tertentu sering disebut sebagai
agama abad-20?
EVOLUSI ISLAM
Sementara itu, beberapa ajaran agama yang klasik (seperti Hindu, Budha,
Yahudi, Nasrani dll) bisa jadi memang berasal dari seorang utusan Tuhan di
zaman dulu. Kondisi dan situasi yang berbeda saat ajaran itu diturunkan,
membuat ajaran yang diperlukan juga berbeda. Sedang kebudayaan manusia
mengalami perkembangan (evolusi).
Akhirnya evolusi itu sampai pada satu titik, di mana suatu ajaran yang
bersifat universal (sesuai untuk seluruh manusia) dan komprehensif (sesuai
untuk seluruh masa) tiba saatnya. Ibarat sungai, ajaran berbagai agama yang
ada di dunia ini laksana anak-anak sungai yang mengalir ke sebuah sungai
yang besar.
Agama-agama selain Islam sesungguhnya hanya diperuntukkan untuk suatu kaum
tertentu, di daerah tertentu dan pada masa tertentu. Hal ini disebutkan
oleh kitab-kitab mereka, yang merupakan tanda-tanda dari Tuhan yang sampai
pada saat ini - di luar soal bahwa banyak kitab-kitab itu kini tidak lagi teruji autentitasnya.
No comments:
Post a Comment